Pesanggrahan "Cinta"

Selamat Datang di "Pesanggrahan Cinta".............

Rabu, 09 Februari 2011

Tasawwuf

A. Definisi dan Hakekat Tasawuf

Salah satu contoh kehidupan Nabi yang sangat sederhana dan pas-pasan, bahkan bisa dibilang serba kekurangan untuk ukuran kehidupan manusia biasa seperti kita. Tapi apakah Nabi sesekali mengeluh dan merasa hidup sengsara dalam kondisi yang seperti itu? Tidak! Bahkan sering kali nabi mendesahkan sebuah do’a yang syarat dengan makna filosofis, yang sesungguhnya do’a tersebut adalah suatu pembelajaran bagi kita umatnya:


“ Ya Allah, biarkanlah aku hidup sebagai orang miskin, dan mati sebagai orang yang miskin, dan himpunkanlah aku dengan golongan orang-orang miskin”


Apa dibalik itu semua? Makna apa yang terkandung dan tersirat dibalik contoh-contoh kahidupan Nabi yang begitu sederhana dan serba pas-pasan secara materi? Rahasia apa yang tersembunyi dibalik lantunan do’a nabi yang menginginkan hidup dalam kemiskinan?

Makna yang terkandung dari perjalanan kesederhanaan hidup Nabi adalah suatu pembelajaran bahwa manusia boleh dan sah-sah saja mencari dunia atau bahkan memilikinya, tetapi satu hal yang menjadi pantangan dan dilarang, adalah mencintai dunia. Cinta kepada hal-hal yang bersifat duniawi akan melahirkan keterantungan kepadanya. Sekali seorang hamba telah tergantung atau menggantungkan sepenuhnya kepada dunia, maka yang lain (akhirat) pasti akan terlupakan dan terkalahkan. Dan jika seorang hamba telah mengalahkan kehidupan akhirat dan memenangkan kehidupan dunia, maka jangan diharap seorang hamba tersebut mempunyai akhlaq mulia. Dalam hatinya akan selalu diliputi oleh rasa ambisi yang pada giliran berikutnya akan menumbuhkan benih-benih penyakit hati seperti kufur nikmat, tamak, iri, dengki atau seperti istilah zaman sekarang yaitu penyakit materialistis.

Ada banyak definisi tasawuf baik yang diberikan oleh para sufi sendiri maupun dari para cendikiawan muslim menurut versinya masing-masing. Namun dari banyaknya definisi tersebut, Ibnu Kaldum memberikan batasan-batasan definisi tentang Tasawuf sebagai berikut”


“Asal pokok dari ajaran tasawuf itu adalah bertekun ibadah dan memutuskan pertaliannya dengan selain Allah, hanya meghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda dan kemegahannya, dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam Khalwat dan Ibadat”

Berpijak dari definisi ini memberikan keterangan bahwa tasawwuf itu terdiri dari beberapa unsure, yaitu:

1. Tetap tekun beribadah kepada Allah.

2. Memutuskan ketergantungan hatinya selain Allah.

3. Menjauhkan diri dari kemewahan-kemewahan dunia.

4. Menjauhkan diri dari berfoya-foya dengan harta dan kemegahan-kemegahannya.

5. Berkhalwat (bersunyi-sunyi dalam melaksanakan ibadah kepada Allah)

Dari beberapa unsure diatas, satu kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah bahwa inti dari ajaran Tasawwuf adalah satu upaya atau usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tekun beribadah dan melalui pembersihan jiwa dengan jalan memutuskan ketergantungan hati selain kepada Allah, menjauhkan diri dari kemewh-mewahan dunia dengan segala kemegahannya. Dengan demikian, sebenarnya ada dua hal yang menjadi prioritas atau perhatian utama dalam tasawwuf, yaitu: Kesucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah.

Dalam ajaran tasawwuf, manusia sebenarnya adalah makhluk Allah yang digariskan selalu bergerak dalam arah kebaikan dan penyempurnaan. Hal ini pun ditegaskan oleh Allah dalam FirmanNYA:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan hanif (lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (itulah) agama lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Ar-Rum:30).

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa ternyata manusia mempunyai kecondongan untuk selalu berbuat baik, dan malah Allah sendiri menjamin tidak akan ada perubahan atas fitrah tersebut.

Yang menjadi titik penekanan terpenting dalam Tasawwuf adalah keadaan bathin dan bukan pada penampilan dhahir yang terkadang terlihat aneh bahkan tidak masuk akal, walau dalam kenyataannya ada sebagian sufi yang mempunyai kemampuan melihat masa depan, dan bahkan kemampuan mengubah bentuk, tapi itu bukanlah tujuan dari Tasawwuf. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa para pelaku Tasawwuf atau seorang sufi tidak mesti dan harus berpenampilan layaknya para sufi diawal-awal kemunculannya dulu. Tidak bisa dikatakan begitu saja bahwa Uzlah adalah menisolasi diri pergi ke suatu tempat yang jauh menghindari kehidupan social. Dan tidak bisa diartikan dengan dangkal bahwa Uzlah adalah sama dengan miskin papa atau tidak memiliki harta benda, tapi jauh dari itu Zuhud harus diartikan dengan tiada ketergantungan, apalagi kecintaan pada dunia. Dengan demikian bisa saja dan boleh jadi seorang Zahid memiliki harta benda yang begitu banyak, tetapi dikedalaman hatinya tak ada sedikit pun secercah rsa ketergantungan apalagi cinta pada harta benda itu.

Dalam ajaran ilmu Tasawwuf disebutkan bahwa kalbu adalah merupakan titik pusat pandangan Allah kepada manusia. Karena sesungguhnya kalbu adalah merupakan kendali manusia yang dapat mempengaruhi bahkan menentukan baik atau buruknya tingkah laku manusia. Hal ini ditegaskan oleh Nabi sebagaimana berikut:

“Ingatlah bahwa didalam diri manusia ada segumpal darah. Jika segumpaln darah ini baik, maka baiklah keseluruhan jasadnya. Tapi jika segumpal darah ini jelek, maka jeleklah keseluruhan jasadnya. Ingatlah bahwa segumpal darah itu adalah qolb atau hati.”

B. Antara Syariat, Tariqat dan Hakekat

Adalah suatu yang tidak bisa dipisahkan, dan memang tak kenan untuk dipisahkan antara syariat, tariqat dan hakikat. Ketignya adalah sesuatu yang padu menjadi satu. Ketiga-tiganya tidak boleh dan memang tidak bisa dipsah-pisahkan satu sama lainnya.. karena ketiganya sudah membentuk satu keterkaitan. Pengenyampingan satu dengan dua hal lainnya tentu akan menimbulkan kepincangan, bahkan pada taraf yang lebih fatal akan menimbulkan kesalahan besar:

Barangsiapa yang mengamalkan fiqih (syariat) tanpa bertasawwuf (tariqat) maka dia adalah fasiq. Dan barangsiapa mengamalkan tasawwuf (tariqat) tanpa mengamalkan fiqih (syariat) maka dia adalah zindiq (penyeleweng). Dan barangsiapa menggabungkan keduanya, maka dia telah berhakikat (menemukan suata kebenaran)”.

Ada sebuah ungkapan puitis yang menunjukan bahwa ibarat tentang keterkaian antara syariat, tariqat dan hakikat:

Ibarat bahtera itulah syariatnya

Ibarat samudera itulah tariqatnya

Ibarat mutiara itulah hakikat

Ungkapan dari syair tersebut menggambarkan sebuah ibarat tentang ketiga jalur menuju kesempurnaan beragama: syariat ibarat sebuah kapal, yakni sebuah instrument mencapai tujuan. Tariqat ibarat lautan, yakni sebuah wadah yang mengantarkan ke tempat tujuan. Sedangkan Hakikat adalah sebuah mutiara yang terpendam di dasar lautan, yang begitu memiliki nilai jual yang tinggi.


Untuk memperoleh mutiara hakikat, logikanya, seseorang harus mengarungi lautan walaupun nanti harus menghadapi dahsyatnya ombak. Sedangkan untuk mengarungi lautan tersebut mau tidak mau atau bisa tidak bisa harus menggunakan sebuah perahu. Dengan kedua sarana dan cara tersebut nantinya akan diperoleh sang mutiara itu. Tanpa melalui dua proses ini, maka sudah bisa dipastikan bahwa hakikat tak akan pernah bisa dicapai.

1. Syariat

a) Syariat adalah hokum-hukum (tata aturan) yang diciptakan oleh Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya didalam hubungannya kepada Allah, alam semesta dan keseluruhan hidup.

b) Syariat adalah hokum-hukum yang diadakan oleh Allah yang dibawa salah satu NabiNYA, termasuk nabi Muhammad, baik hokum yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut Far’iyyah Amaliyah yang didalamnya terhimpun dalam ilmu fiqih, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan Ashliyyah atau Itiqadiyyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Kalam.

c) Syariat adalah berpegang kepada Agama Allah Khaliqul alam dan menjalankan perintahNYA serta mencegah laranganNYA.

2. Tariqat


Tariqat merupakan jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka didalam tariqat sebenarnya berisikan tentang riyadhah-riyadhah atau amalan-amalan yang harus dikerjakan dan bukan erisikan tentang ajaran yang mengkaji secar falsafi tentang tasawwuf, tariqat lebih merupakan suatu amalan dan ajaran praktis tasawwuf.

Sebagai ajaran dan amalam praktis dari ilmu tasawwuf, dalam mengenal Allah tariqat sebenarnya mempunyai cara tersendiri untuk mendekatkan diri kedaNYA, karena itu disebabkan kalangan ahli tariqat mempunyai pandangan tersendiri tentang Tuhan. Landasan bagi ahli tariqat yaitu sebuah hadits:

“Aku sejak semula adalah merupakan harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakanlah makhluk. Dan melalui Aku, merekapun mengenali-Ku.”

Harta yang tersembunyi”, yang dimaksud di situ adalah sebuah rahasia yang tidak semua manusia dapat mengetahui tentangNya.


Walaupun antara sekian banyaknya aliran tariqat yang ada memiliki amalan-amalan tersendiri, tetapi memiliki tujuan yang sama. Ada tariqat yang mempunyai cara dzikir tertentu dengan menggunakan suara yang disebut “Dzikrul lisan”, ada juga dzikir yang hanya diucapkan di dalam hati yang disebut Dzikrul Qolbi.


Antara ketiga jenis dzikir, oleh karena berbeda, maka lafadz yang diucapkannyapun berbeda. Biasanya dan kebanyakan dzikrul lisan melafadzkan kalimat “La ilaha illallah”, sementara dzikrul qolbi mengucapkan lafadz “Allah” dan adapun dzikir sirri berupa lafadz “Hu”


Secara khusus, aliran-aliran tariqat sebenarnya memiliki tujuan, yang intinya:

1) Dengan mengamalkan tariqat berarti mengadakan latihan jiwa yang berjuang melawan hawa nafsu. Menjauhkan diri dari sfat-sifat yang tercela dan diisi denga sifat-sifat terpuji dengan melalui perbaikan budi pekerti.

2) Selalu dapat mewujudkan rasa ingat kepada Allah.

3. Hakikat

“Hakikat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan menyaksikan cahaya nan gemerlapan dari ma’rifatullah yang penuh harapan.

Tidak ada komentar: